TURGO ID – Wisata dan Pariwisata, itu beda. Banyak orang salah kaprah. Pun para pegiat dan pelaku industrinya. Termasuk pemerintah sendiri, biasanya di daerah, terutama yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sektor satu ini. Pariwisata, Budaya, Ekonomi Kreatif.
Cara berpikir yang lebih parah, adalah beranggapan bahwa sektor lainnya tak ada kaitannya dengan pariwisata. Sehingga ada yang menjadikan dinas pariwisata sebagai satuan kerja buangan. Organisasi yang tak akan berkontribusi besar bagi daerah.
Penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Wisata artinya bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya). Sedangkan Berwisata, adalah melakukan perjalanan wisata itu sendiri. Nah, Pariwisata adalah hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan wisata itu.
Mari kita hubungkan, Wisata atau Berwisata, merupakan kegiatan orang-orang yang ingin memperluas pengetahuan, bersenang-senang, melihat yang unik, menyaksikan yang asyik, menambah wawasan, mengindera sesuatu yang tidak ada, atau jarang, atau belum pernah ada di tempatnya, sampai mencoba hal yang bukan kebiasaannya. Begitulah kira-kira kita memaknainya. Nah, Pariwisata itu potensi kita.
Kalau orang di Sulawesi Tenggara tidak familiar dengan gedung-gedung pencakar langit dan suasana mall yang jualan barang seharga sepeda motor atau mobil, orang Jakarta sediakan itu. Lalu orang Kendari, Morosi, Pomalaa, Wawonii, Raha, Baubau, Wanci, berangkat via Bandara KDI menuju CGK membawa uang satu koper untuk menikmati Pariwisata di Jakarta tersebut. Pulang-pulang uangnya habis, bawaan banyak, capek. Tapi mata berbinar, bibir siap bercerita ke tetangga, keluarga dan teman kerja, otak berkembang, ide menumpuk, semangat charge full, penasaran dan macam-macam. Otaknya bilang begini, “pulang kumpul uang lagi yang banyak, besok datang lagi”.
Sebaliknya, kepala orang Jakarta suntuk, mumet, hati resah, gelisah, lelah, letih, ingin tenang. Nah, di sinilah peluang warga Teluk Kendari dengan aneka olahan ikan segarnya, pengelola resort Labengki, pemandu Gunung Mekongga, pemilik homestay di Pantai Kampa, warga Liangkobori, penjual Gola Kaluku di kawasan Keraton Buton, sampai pemilik perahu di Wanci, menuai cuan. Pemerintah daerah mendapat PAD, travel agency, maskapai, hotel, hingga para pembuat konten di perusahaan startup (termasuk turgo.id) ikut merasakan dampaknya. Jangan lupa, usaha kecil dan menengah pasti mendapat bagian.
Beginilah industri pariwisata itu hadir dan berkembang. Siklus alami manusia yang membuatnya bertahan dan maju. Bahwa manusia itu pasti berketurunan, ada yang mati ada yang lahir. Ada yang pernah ke Rawa Aopa, mungkin hanya sekali lalu tak mau lagi, ada pula yang ingin berkali-kali. Tapi bukankan anaknya, cucunya, cicitnya, keponakannya, anaknya temannya, atau saudaranya istrinya, tidak ada yang penasaran dengan keindahan Bukit Teletubbies di taman nasional itu? Apalagi si wisatawan tadi, memajang fotonya di dinding rumah, saat berada di TN Rawa Aopa sedang dikejar Anoa.
Ilustrasi lainnya, si Ujang, Jawara Silat di Banten, penasaran dengan Ewa Wuna yang diperagakan La Safaruddin di Muna. Ujang menontonnya di channel Youtube, membaca literaturnya di website Turgo.id, memperhatikan foto-fotonya di Instagram. Dia ingin memperkaya wawasannya langsung di kampung Lohia. Ujang juga ingin mengajak tim seperguruannya untuk sekadar tandang tanding, ada Asep, Ita, Rini, dan lainnya. Tapi mereka tak punya kawan di Sultra. Kebetulan, di Web dan Sosmed Turgo.id ada kontaknya Pak Rahman, pemilik usaha tur wisata, yang juga menawarkan paket lengkap. Maka terjadilah kesepakatan.
Pak Rahman, kemudian menyiapkan hal-hal yang mungkin akan disukai rombongan Ujang. Mulai dari tiket pesawat, mobil rental, hotel, kapal, perahu, ikan bakar, kasuami, songgi, sampai kue bagea dan karasi. Tak lupa, dia sediakan totebag motif tenun Masalili berisi kacang mete, sarung Muna, kampurui, dan gantungan kunci tempurung kelapa bergambar Anoa. Semua dia beli dari pengusaha lokal. Dia juga meminta sanggar tari Mondotambe menyambut rombongan dengan liukan para Luale.
Lain cerita jika Pemda menyiapkan event seru tahunan yang melibatkan industri pariwisata yang ada. Maka orang-orang dari Sabang sampai Merauke akan datang bawa berkoper-koper uangnya untuk dihabiskan di Sulawesi Tenggara. Tanpa melalui agency pun tidak masalah, yang penting orang-orang di Sultra ini sudah paham bahwa daerah ini sudah menjadi tujuan wisata. Harus siap menerima dan menyamankan tamu, sehingga mau datang berkali-kali untuk berkunjung, berapapun biayanya.
Sultra punya destinasi bahari dan pegunungan yang masih alami nan memikat di mana-mana, adat budaya yang kaya, satwa dan flora endemik unik, kuliner enak dan segar, sejarah yang memukau, agrowisata yang beragam, kriya yang keren, tentu saja dengan ekonomi kreatif yang mulai berkembang.
Dinas Pariwisata Kota Kendari pada tahun 2021 melaporkan pendapatannya hanya berkisar Rp 150 juta, lebih kecil dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 250 juta. Ini di ibukota provinsi. Menurut Dinas Pariwisata dan Ekraf Provinsi Sultra, jumlah wisatawan pada dua tahun terakhir mengalami penurunan hingga 35 persen. Tidak dirinci berapa jumlahnya.
Padahal, pariwisata itu tidak hanya soal jumlah orang datang menikmati Pantai Nambo, menyelam di Wakatobi, atau bersantai di Labengki. Atau tidak hanya menghitung berapa lama tamu menginap di hotel-hotel sepanjang Jalan La Ode Hadi di Kendari.
Harus menghitung pula efek dari setiap “Atraksi” yang dimiliki atau disajikan selama tahun berjalan. Lalu penggunaan “Amenitas” yang ada, termasuk peningkatan jumlah fasilitas amenity itu, juga penyiapan “Akses” yang berkaitan dengan pariwisata ini.
Sepertinya pemahaman potensi yang kita miliki ini perlu diupgrade atau setidaknya refresh kembali. Bukankah Sinonggi tidak diketahui oleh orang Jepang? Kenapa tidak mengajak warga Prancis mengunjungi Liangkobori? Atau mempromosikan Rawa Aopa di Australia, memperkenalkan Pulau Padamarang pada orang Amerika, sekalian memberikan Tenun Moronene ke desainer Italia.
(Gugus Suryaman, TURGO ID)