(Cerita oleh: Novrizal R Topa)
TURGO.ID – Sluuurrrppp!
Oh, betapa nikmatnya sajian sebuah kopi panas jika disesap atau diseruput. Terasa reseptor indera pengecap basah dan larut di dalamnya lalu membangkitkan motoris otak melalui impuls saraf yang diinterpretasikan sebagai rasa pada korteks orak di lobus parientalis.
Oleh masyarakat suku Muna, menyesap atau seruput disebut Sonde. Kebanyakan dari mereka, menyeruput tatkala memadu bibir dengan makanan berkuah merupakan kenikmatan tersendiri, dan hingga kini masih banyak yang mempertahankan budaya sonde ini, termasuk saya.
Pagi itu, saya mampir di kediaman salah seorang kerabat yang bernama Sabarudin di Desa Waleale Kecamatan Tongkuno Selatan Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Setelah malamnya mengendarai roda dua menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Raha, ibukota kabupaten berlambang kuda berkelahi itu. Di hadapanku tersaji secangkir seduhan kopi panas, oleh masyarakat sini dinamakan Kahawa. Setelah berbincang cukup lama dengan Sabarudin, kami menghampiri beberapa tanaman kopi yang berada di belakang rumahnya. Jika melihat dari ciri tanaman dan biji mentahnya (green bean), kopi ini merupakan jenis Robusta (Coffea Canephora). Menurutnya, tanaman kopi tersebut diperkirakan sudah berumur 15 tahun.
Sambil membawa Kahawa di bawah pohon kopi, cerita kami berlanjut tentang minuman yang tersohor di penjuru planet ketiga ini. Manakala tradisi minum kopi ini adalah warisan dari golongan para sufi di Arab utara. Adalah Syekh Shadhiliyya atau Abu al Hasan al Ali bin Umar beserta pengikutnya yang memperkenalkan dan mengembangkan minuman ini di Yaman.
Awalnya mengenal buah Beri ini pada saat dia bekerja di pengadilan Sultan Sadaddin II di Ethiopia utara. Sekembalinya Abu al Hasan dari Etiopia, dia mengembangkan pengetahuan bahwa biji ini tidak hanya bisa dimakan tetapi mampu memelihara keterjagaan (wakefullness). Hingga saat ini Syeh Shadhiliyya diberi kehormatan sebagai Syeh Pengembang Kopi (Saint of Coffee-Growers), pemilik rumah kopi pertama dan seorang peminum kopi (coffee drinker). Bahkan di Aljazair, kopi terkadang disebut dengan ëshadhiliyyeí mengambil nama dari syeh Shadhilli sebagai penghomatan kepadanya.
Pada awal perkembangannya, para sufi merebus biji kopi lalu meminum hasil rebusannya agar tetap terjaga pada dzikir-dzikir malamnya. Sementara biji kopi sangrai, dikembangkan oleh orang Persia.
Salah seorang pengikut Shadhiliyyah, Abu Bakar bin Abdullah al Aydarus, sangat terkesan dengan efek yang ditimbulkan minuman ini, bahkan ia membuat sebuah Qasidah (puisi) untuk menghormati minuman ini. Para sufi peminum kopi menyebut efek euforia yang ditimbulkan oleh minuman dengan Marqaha. Seorang Mistikus dan Teologis Syekh Ibnu Ismail Ba Alawi al Shihr menyatakan bahwa meminum kopi jika dipadukan dengan doa yang khusuk dan penuh keyakinan mampu membawa seseorang kepada pengalaman Qahwa Maínawiyah (qahwa sempurna) dan Qahwat al Sufiyah, atau jika diterjemahkan secara bebas adalah “Sebuah kenikmatan dimana seseorang mampu melihat misteri tersembunyi milik Allah dan mencapai pengungkapan yang indah akan wahyu agung (the enjoyment which the people of God feel in beholding the hidden mysteries and attaining the wonderful disclosures and the great revelations)”.
Para pengikut Shadhiliyah sangat aktif di persoalan perdagangan dan pengembangan kopi, bahkan Syekh Abu al Hasan ash-Shadhili enggan untuk menerima murid dari seorang yang sudah mempunyai pekerjaan. Hal tersebut menjadi terlihat jelas bahwa kemudian kopi menjadi sebuah komoditi, bisa dijadikan sebuah pekerjaan yang mampu mengembangkan ekonomi lokal. Kala itu, iklim Arab Utara memang ideal untuk tanaman kopi, dimana pelabuhan Yaman, khususnya pelabuhan Mocha menjadi eksportir kopi utama di dunia.
Sembari menyesap kahawa, impian kecil terlintas dalam percakapan kami untuk mendorong Desa Waleale yang berada di ujung Selatan Kabupaten Muna menjadi ujung tombak destinasi wisata di kabupaten ini berbasis potensi kopi. Hal ini tentu membutuhkan upaya yang melibatkan seluruh elemen.
Menurut Sabarudin, pada masa pemerintahan orde baru kebijakan pemerintah pusat atas tanaman kopi di Kabupaten Muna digalakkan pada tahun 1970 hingga 1980. Saat ini di Desa Waleale, meski bukan menjadi komoditi unggulan, akan tetapi masih ada sekira 200 pohon tanaman kopi yang terawat oleh petani.
Dituturkan Sabarudin, sudah banyak petani Desa Waleale yang beralih jenis tanaman bahkan terjadi migrasi profesi, penyebabnya tak lain pengaruh trend kebutuhan pasar.
“Jika informasi pasar tentang harga Nilam yang menggiurkan maka beralih ke Nilam,” kata Sabarudin mencontohkan.
Upss, sampai lupa dengan judul kita. Kahawa merupakan sebutan untuk minuman kopi seduhan bagi masyarakat suku Muna di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Konon, menurut budaya tutur masyarakat suku yang mendiami pulau kars di wilayah 2.889 km persegi ini, minuman yang dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Arab sampai ke pulau Muna dibawa oleh beberapa ulama, salah satunya bernama Saidi Raba pada abad ke 16 sekira tahun 1671 di masa kepemimpinan Raja Muna ke XV, La Ode Abdul Rahman (Sangia La Tugho). Jika merujuk sebutan bahasa Arab untuk minuman ini, bisa jadi kata Kahawa mengadopsi Qahwa.