TURGO.ID – Ikan asin merupakan produk makanan olahan yang banyak dijumpai di pasar tradisional Sulawesi Tenggara (Sultra). Pasar tradisional yang ada di Kota Kendari (ibu kota Sulawesi Tenggara) pun dapat dijumpai berbagai jenis ikan asin.
Meski angka kunjungan wisatawan di Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19, tetapi peminat ikan asin dari luar provinsi ini tak ikut lengang. Ia tetap laris dikonsumsi masyarakat Sultra ataupun sebagai oleh-oleh (buah tangan) untuk dibawa keluar. Ikan asin seperti punya pangsa pasarnya sendiri.
Salah satu tempat untuk mendapatkan ikan asin dalam Kota Kendari berada di Pasar Mandonga. Lokasi tepat Pasar Mandonga dapat diklik melalui maps, https://g.co/kgs/YKYGCr
Di pasar ini, berbagai jenis ikan laut yang diasinkan digelar. Jenis sunu, kakap, teri, maupun cumi didagangkan. Terasi berkualitas pun ada di pasar yang tepat berada di jalan utama Kota Kendari ini.
Salah seorang pedagang ikan asin di pasar ini mengungkapkan kalau para pembeli kerap membeli untuk dijadikan buah tangan (oleh-oleh) keluar Sulawesi Tenggara.
Untuk ikan asin jenis sunu dan kakap seharga Rp 120.000,- dan Rp 135.000,- per kilogram atau naik dibanding sebelumnya yang hanya Rp 100.000,- per kilogram. Sementara itu, ikan teri harganya bervariasi antara Rp 90.000,- per kilogram untuk kualitas sedang dan Rp 110.000,- hingga Rp 135.000,- per kilogram untuk kualitas terbaik.
Sejarah Ikan Asin
Di Indonesia ikan asin memiliki sejarah panjang. Kerap dipandang makanan kelas bawah, ikan asin merupakan olahan yang tak asing bagi masyarakat Indonesia. Beragam olahan kuliner dapat dikreasikan dari bahan makanan satu ini.
Ikan asin Indonesia pernah menjadi salah satu hidangan upacara adat. Sebagaimana yang ditulis Titi Surti Nastiti, seorang Arkeolog Indonesia dalam bukunya yang berjudul “Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi”, menjelaskan aktivitas ekonomi dan sosial masyakarat Mataram Kuno, termasuk sejarah ikan asin.
Dalam buku tersebut terungkap, masyarakat Mataram Kuno menjadikan ikan asin menjadi salah satu komoditi yang kerap diperdagangkan di pasar-pasar di Jawa sejak 13 abad silam.
Titi menjelaskan sejarah ikan asin dari dua prasasti. Prasasti pertama adalah Prasasti Pangumulan A yang berangka tahun 824 Saka atau 902 Masehi. Prasasti kedua adalah Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi. Prasasti itu menjelaskan, tentang beberapa jenis ikan yang dijadikan ikan asin pada masa itu.
“Jenis ikan yang diasinkan atau dendeng ikan, terutama jenis-jenis ikan laut seperti ikan kembung, ikan kakap, ikan tenggiri,” tulis Titi merujuk Prasasti Pangumulan A.
Tulisan Titi menyebut, kedua prasasti menjelaskan istilah ikan asin yang dikeringkan disebut grih atau dendain. Dalam Prasasti Rukam, grih atau dendain digunakan sebagai hidangan yang disajikan dalam upacara penetapan sima (tanah suci).
Dari bukti sejarah itu, ikan asin rupanya tak hanya jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari, tetapi juga jadi hidangan yang disajikan dalam upacara-upacara besar.
Terlepas dari stigma tak berkelasnya, ikan asin tetap jadi bagian perjalanan suatu masyakarat membangun ekonominya. Kini, setelah 13 abad, ikan asin masih eksis di tengah masyakarat Indonesia.
Laporan: Novrizal R Topa