TURGO.ID – Setiap provinsi di Indonesia memiliki fauna dan flora khas yang dijadikan maskot maupun lambang daerah. Sulawesi Tenggara yang ditetapkan sebagai daerah otonom berdasarkan Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU No.13 Tahun 1964 menjadikan Anoa sebagai bagian dari lambang daerah.
Gambar kepala Anoa dalam lambang tersebut yang juga menjadi hewan endemik Sulawesi, diperkirakan jenis anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Sebagaimana dalam buku yang ditulis Abdul Haris Mustari, berjudul “Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi”, yang salah satunya mengidentifikasi jenis Anoa dataran rendah.
Beberapa hal yang menjadi identifikasi tersebut, misalnya secara taksonomi, anoa termasuk dalam genus kerbau, Bubalus, tetapi bentuk tubuh serta arah tumbuh tanduk lebih menyerupai sapi pada umumnya, genus Bos.
Tanduk tumbuh lurus ke atas arah agak ke belakang, berbeda dengan tanduk kerbau yang umumnya tumbuh ke arah samping kemudian agak melengkung ke atas.
Warna rambut dari hitam kecokelatan sampai hitam legam, rambut lebih jarang pada individu dewasa.
Anoa merupakan spesies kerbau yang paling kecil ukuran tubuhnya. Panjang ekor mencapai lutut kaki belakang. Tinggi bahu berkisar 70–110 cm. Berat badan dewasa berkisar 80–100 kg (kadang mencapai 120–130kg.
Telinga berbentuk oval (lonjong), bagian ujung meruncing, bagian dalam berwarna terang (putih kecokelatan), terdapat noktah putih didaun telinga sebelah dalam. Ujung hidung berwarna hitam.
Kadang terdapat warna putih pada bagian bawah leher berbentuk setengah lingkaran atau bulan sabit (white crescent), serta kadang terdapat titik putih (white spot) di samping pipi.
Bentuk pangkal tanduk mendekati bentuk segitiga, membesar di pangkal tanduk dan semakin mengecil dan meruncing ke arah ujung.
Potongan melingkar pangkal tanduk tidak bulat seperti cincin atau model silinder, tetapi agak pipih atau depressed (dari suku kata inilah nama spesies anoa dataran rendah berasal Bubalus depressicornis).
Terdapat garis-garis melingkar menyerupai cincin (wrinkled) dari pangkal sampai sekitar pertengahan panjang tanduk.
Panjang tanduk dapat mencapai 35 cm (paling panjang tercatat 37 cm di Natural History Museum Paris), tetapi umumnya berkisar 20–30 cm.
Lebih lanjut Mustari menuliskan, selain hutan primer, anoa dapat dijumpai di hutan sekunder dan hutan yang berbatasan dengan kebun untuk mencari makan, tetapi satwa ini akan selalu menjadikan hutan primer sebagai tempat berlindung tetapnya. Bahkan Anoa sering mengunjungi sumber air panas dan sumber air mineral atau belerang.
Memantau penyebaran alaminya di Sultra, bagi pengamat hewan berpeluang bertemu Anoa di kawasan-kawasan berikut, yakni Suaka Margasatwa Tanjung Amolengo, Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo, Suaka Margasatwa Tanjung Polewali, Taman Hutan Raya Tanjung Nipa.
Terdapat pula dalam hutan di sekitar Lasolo-Sampara, Taman Wisata Alam Mangolo, Hutan Lindung Pegunungan Mekongga di Kolaka Utara, Hutan Lindung di Matarombea di Kolaka Timur dan Konawe Utara.
Selain itu, ada pula di Hutan Lindung Boro-Boro, Taman Nasional Rawa Aopa-Watumohai, Cagar Alam Lamedai, wilayah Lasolo-Sampara, Pegunungan Tangkeleboke, Pegunungan Abuki, Pegunungan Matarombea, Hutan di kawasan Mowewe dan beberapa kawasan hutan di sekitar Asera.
Di Pulau Buton terdapat di Suaka Margasatwa Lambusango, Cagar Alam Kakenaue, dan Cagar Alam Buton Utara.
Anoa tergolong satwa liar yang langka dan dilindungi Undang-Undang di Indonesia sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang tersebut mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali akan mendapatkan sanksi yang jelas jika melanggar seluruh peraturan tersebut.
Hukuman yang didapatkan berupa sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 tahun. Denda paling banyak Rp100 juta, hal ini dijelaskan dalam Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990.
Laporan: Novrizal R Topa