TURGO.ID – Salah satu nilai kearifan budaya masyarakat Buton yang terkenal, adalah filosofi kehidupan yang dalam bahasa Buton disebut “pobhinci-bhinci kuli”. Jabaran nilai filosifis itu dikemas dalam “sara pata nguuna” atau empat prinsip nilai.
Nilai-nilai “pobhinci-bhinci kuli” mengharuskan setiap individu etnis Buton untuk selalu mengenal siapa dirinya hingga pada akhirnya dia pasti mengenal siapa Tuhannya.
Empat prinsip nilai yang dimaksud yaitu, pertama, “pomae-maeka” yang mengandung makna saling takut untuk tidak menzalimi sesama. Dalam hal ini, setiap orang wajib menjaga harga diri orang lain.
Kedua, “popia-piara” yang mengandung makna saling mengayomi antar sesama atau dengan kata lain setiap orang wajib memelihara sesama manusia. Ketiga, “pomaa-maasiaka” yang mengandung makna saling menyayangi antar sesama, dimana setiap orang harus menumbuhkan kasih sayang antar sesama.
Keempat, “poangka-angkata” yang mengandung makna saling menghormati antar sesame, yang menuntut setiap orang harus menghormati hak asasi sebagai manusia.
Bila keempat nilai-nilai kehidupan ini terus diamalkan, maka masyarakat pasti hidup tertib, rukun dan damai. Masyarakat akan terlindungi dari perselisihan apalagi konflik.
Nilai kearifan budaya Buton itu dipaparkan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, dalam peluncuran buku yang digelar di Hotel Claro Kendari, Senin 14 Desember 2020. Buku yang diluncurkan pada acara tersebut terkait dengan nilai-nilai budaya Buton.
Gubernur menaruh perhatian besar terhadap kehadiran buku-buku budaya, karena terkait dengan program prioritas pembangunan Sultra, yakni “Sultra Berbudaya dan Beriman”.
Gubernur berpandangan bahwa budaya adalah modal pembangunan bangsa. Modal tersebut terletak pada peranannya sebagai pengendali cara berpikir, berorientasi, dan berperilaku masyarakat.
“Untuk itu, kita perlu menggali nilai-nilai budaya yang telah lama hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk buku yang diharapkan dapat menjadi dokumen tertulis sekaligus menjadi bahan bacaan,” kata Gubernur.
Ada dua buku yang diluncurkan sekaligus pada kesempatan itu, masing-masing berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Antikorupsi dalam Kearifan Buton” dan buku yang berjudul “Mekanisme Pengangkatan Sultan Buton dan Peran Lembaga Adat Kesultanan Buton”.
Buku ini ditulis oleh para akademisi dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau dan penggiat kebudayaan Buton. Penulisan buku ini merupakan kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra.
Sementara itu, dalam sambutan tertulis Kepala Balitbang Sultra Sukanto Toding yang dibacakan oleh Kepala Bidang Sosial dan Kependudukan La Tanampe mengatakan, kegiatan peluncuran buku ini diawali dengan kegiatan penelitian, yang kemudian dilanjutkan dengan bedah buku dan diakhiri dengan penulisan buku.
“Kegiatan bedah buku dilaksanakan dengan melibatkan ahli, tokoh masyarakat dan budayawan Buton yang dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2020 di Kota Baubau,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra Asrun Lio mengemukakan, gagasan penulisan kedua buku ini bermula dari seminar nasional bertajuk “Ayo Bangkit Lawan Korupsi” yang dilaksanakan di Baubau, Juli 2019 silam. Narasumber utama dalam seminar itu adalah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Gubernur Sultra Ali Mazi.
“Salah satu rekomendasi dari pertemuan tersebut adalah perlunya dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya sebagai instrumen pencegahan korupsi, dimana kajiannya dilakukan oleh Balitang Sultra dan implementasinya dilaksanakan oleh Dinas Dikbud Sultra,” jelas Asrun Lio.
Kadis Dikbud Sultra mengungkapkan, kedua buku buku tersebut layak dijadiklan materi-materi yang dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah pada semua level jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pihaknya merekomendasikan buku itu dapat digunakan di sekolah sebagai buku referensi.