(Cerita oleh: Gugus Suryaman)
TURGO.ID – Warga Lohia memiliki tradisi menganyam serat batang tumbuhan merambat yang disebut Nentu. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun, bahkan kini masuk dalam pelajaran kesenian dan muatan lokal di sekolah-sekolah setempat. Hasil kerajinan ini selalu menjadi incaran para wisatawan yang berkunjung ke Muna, untuk dijadikan buah tangan.
Beragam kerajinan yang dihasilkan, mulai dari alas piring, tempat tisu, vas bunga, talang, baki, bosara sampai aksesoris seperti gantungan kunci dan gelang. Para pengrajin Nentu biasanya menerima pesanan sesuai keinginan pembeli.
Produk-produk yang dihasilkan dari kerajinan tangan ini terkenal awet, tidak mudah lapuk sampai berpuluh tahun. Karena batang Nentu sebagai bahan dasarnya, sangat kuat dan alot namun ringan. Bahkan produk Nentu jauh lebih tahan lama dibanding anyaman berbahan dasar rotan. Anyamannya pun sangat rapi.
Tanaman Nentu sendiri tumbuh liar di hutan-hutan Kabupaten Muna, Muna Barat, Buton Tengah, Buton, Buton Utara dan Bombana di Sulawesi Tenggara. Nentu merupakan tanaman merambat yang tumbuh dengan cara melilit batang pohon kecil atau ranting pohon besar. Batang yang sudah tua yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan anyaman.
Proses pembuatan anyaman ini memerlukan keterampilan dan jiwa seni. Untuk persiapan bahan dasar saja, dibutuhkan waktu tiga hari, mulai dari pengambilan, dibelah hingga penjemuran. Termasuk menyiapkan rotan kecil sebagai rangka anyaman.
Untuk membuat alas piring dengan diameter 20 sentimeter, membutuhkan waktu setengah hari bagi yang sudah terbiasa. Sementara talangan makanan berdiameter 65 sentimeter, dibutuhkan 12 sampai 15 hari sudah termasuk penutupnya. Sementara untuk bahan dasar, hitungannya 40 batang rotan membutuhkan 4 ikat Nentu yang masing-masing sebesar satu genggaman.
Salah satu keluarga pengrajin Nentu yang sudah 30 tahun menganyam adalah pasangan La Mulini (49) dan Wa Hamdia (48). Warga Desa Korihi ini mengambil bahan dasarnya di pulau seberang, Pure. Sehari-harinya, selain menganyam juga berkebun untuk kebutuhan hidup.
Hasil anyamannya dijual seharga Rp25 ribu untuk alas piring, Rp120 ribu untuk paket Bosara dan Rp700 ribu untuk paket talangan makanan. Namun variasi harga itu juga bisa tergantung pesanan. Biasanya sebagai pasarnya, mereka menjual hasil kerajinan kepada pengumpul yang mendatangi tiap komunitas pengrajin. Kami diberi gantungan kunci dan gelang anyaman gratis sebagai oleh-oleh dari anaknya, Ali. Cantik dan unik.
Kini, anak dan cucu La Mulini dan Wa Hamdia, telah mewarisi keahlian menganyam ini. Salah satunya Wa Ope, putri dari Ali, yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Anyamannya sangat rapi dan memberikan sentuhan seni pada tiap anyamannya, mungkin karena jiwa mudanya yang lebih kekinian. Wajar saja dia handal, Wa Ope belajar menganyam sejak kelas dua sekolah dasar.