(Cerita oleh: Gugus Suryaman)
TURGO.ID – Layang-layang tertua di dunia ada di Kabupaten Muna, namanya Kaghati Kolope. Didasarkan pada penelitian seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography berkebangsaan Jerman, Wolfgang Bieck. Klaim negara Cina sebagai penemu layang-layang, dipatahkan oleh penelitian Bieck itu pada tahun 1997.
Bukti sejarah ini juga terlukis di Liang Sugi Patani, salah satu gua prasejarah di Desa Liangkobori. Setelah melalui rangkaian penelitian, diperoleh hasil bahwa gambar layang-layang di dinding gua tersebut dibuat sekitar jaman Epi Paleolithic (periode Mesolitik) atau sekitar 9000-5000 tahun sebelum masehi. Penelitiannya ini kemudian dituangkan Wolfgang di sebuah majalah di Jerman pada tahun 2003 dengan judul “The First Kiteman”, yang menyatakan bahwa Kaghati dari Muna, Sulawesi Tenggara adalah layang-layang yang pertama kali diterbangkan oleh manusia.
Kaghati dalam bahasa Muna berarti layang-layang dan Kolope merupakan daun yang digunakan untuk bahan dasar membuatnya. Kolope merupakan Daun Ubi Hutan (Dioscorea Hispida) yang dirajut menggunakan bambu atau disebut Kasoma, dengan rangka dari Bambu Buluh yang sudah mati selama satu tahun dan tali dari pelepah Pohon Waru (Hibiscus Tiliaceus). Sedangkan tali untuk menerbangkannya, diambil dari serat daun Nanas Hutan (Agave Cantala) yang oleh warga lokal disebut Ghurame.
Guiness World Record dan Museum Rekor Indonesia pernah mencatatkan Kaghati sebagai layang-layang terbesar yang pernah dibuat dan diterbangkan, dengan ukuran 500×430 sentimeter.
Untuk membuat Kaghati selebar 400 sentimeter, dibutuhkan tiga bulan mulai dari pengambilan bahan hingga pembuatan layangan. Dimulai dari pengambilan daun Kolope, kemudian diasapi lalu dijemur selama empat hari, setelah itu ditindis batu agar bentuk daun tetap lurus. Serat pelepah Waru juga membutuhkan waktu 4 hari penjemuran agar dapat dipakai untuk pengikat rangka layang-layang.
Sementara tali untuk menerbangkannya, butuh waktu tiga sampai empat bulan untuk menyeratnya dari daun nanas utuh menjadi tali sepanjang 500 meter. Sebagai aksesoris sekaligus penyeimbang, dibuatkan Kamuu berbahan Daun Agel yang diikat di sebatang bambu kecil. Kamuu inilah yang membuatnya berdengung saat diterbangkan.
Pembuat Kaghati yang sudah malang-melintang di tiap festival sampai di level internasional, adalah La Masili, La Sima, La Ode Pomusu dan La Negara. Menurut La Masili (57) yang sempat kami temui di kediamannya, membuat Kaghati ukuran satu meter pun sudah bisa terbang.
Menyusun Daun Kolope di rangka Kaghati tidak sembarangan, ada yang disebut daun perempuan dan daun laki-laki. Daun perempuan adalah dua lembar yang terletak di sisi kiri dan kanan, sedangkan daun laki-laki yang berada di tengah. Daun laki-laki seratnya lurus, karena itulah posisinya di rangka harus berada di tiang. Sementara daun perempuan menyesuaikan posisi seratnya, di sayap kiri atau kanan.
Di zaman dulu, sebelum membuat layang-layang, si pembuatnya tidak boleh makan. Barangkali maksudnya supaya tidak mengantuk atau badan keberatan. Sebelum menerbangkannya pun, tali tidak boleh dilangkahi oleh perempuan. Konon, akan membuatnya tidak terbang atau malah putus sebelum waktunya.
Sebab jika layang-layang sampai putus saat diterbangkan, kemanapun dan di manapun jatuhnya layangan tersebut harus ditemukan dan dibawa pulang. “Kaghati ini ibarat nyawa, tidak boleh lepas,” kata La Masili saat menunjukkan kaghati buatannya di rumahnya di Raha, ibukota Kabupaten Muna.
Nah, di zaman dulu pula, Kaghati diterbangkan saat menjaga kebun. Biasanya diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam. Sebelum diterbangkan, sang pemilik akan bernazar. Jika berhasil terbang selama itu, maka tali akan digantungkan satu butir telur rebus dan satu buah ketupat, lalu diputuskan bersama layang-layang. Maknanya, untuk membuang sial dan keburukan yang ada pada diri, keluarga dan harta.