Jamal Aslan

Menelisik Kontroversi Mencabut Sepihak Gugatan Sengketa Hasil Pilgub Sultra

Diposting pada

Opini Jamal Aslan*

Konstruksi konstitusional menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah (selanjutnya disebut pemilihan) dibangun di atas prinsip demokratis. Pada gubahan sebelumnya telah penulis ilustrasikan bahwa determinasi makna demokratis Pilkada secara simultan terkoneksi pada karakteristik daulat rakyat yang dibalut oleh nilai-nilai konstitusi. Formula tersebut menandakan bahwa dalam mengejawantahkan sendi demokrasi, Pilkada tetap teguh pada pengakuan bahwa rakyat yang memegang kuasa, namun hukum hadir merapihkan pemenuhanya. Porsi inilah yang menjadikan mengapa sengketa hasil Pilkada digiring masuk pada ranah hukum dan konstitusi. Tidak elok menyelesaikan sengketa daulat rakyat hanya pada racikan intrik politik praktis.

Olehnya, meskipun dinamika politik merupakan entitas yang sangat dinamis, konstitusi hadir untuk mencegah melipirnya tendensi kuasa yang cenderung melampaui batas. Secara umum hukum hadir untuk melimitasi menyisipnya akrobat politik yang dalam berbagai fenomena peradaban cenderung menghalalkan segala cara.

Di antara perubahan susunan kenegaraan pasca constitutional reform, lahirnya Mahkamah Konstitusi ibarat harapan yang kian lama dihendaki untuk terealisasi. Tuntutan menegakan konstitusionalisme terwujud melalui penegasan keberadaan constitutional court yang nantinya akan mengurusi segala bentuk aktualisasi konstitusi. Ketika kedaulatan rakyat dipadu-padankan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, maka sudah barang pasti diperlukan kehadiran institusi yang memastikan kesesuaian antar keduanya.

Olehnya, mengapa selanjutnya Mahkamah Konstitusi memperoleh wewenang secara atribusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum dan pemilihan kepada daerah. Kedua electoral system tersebut dianggap sebagai media implementasi keadulatan rakyat dan olehnya wajib tidak mengangkangi nilai-nilai konstitusional. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ialah untuk meneguhkan supremasi konstitusi tidak tergerus oleh gairah politik praktis yang terus membayangi keluhuran demokrasi. Pada proposisi ini Mahkamah konstitusi (sebagaimana lazimnya badan peradilan pada umumnya) dilekati sejumlah instrumen guna menegakan kuasa yudikatif konstitusionalitas untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa politik. 

Piranti instrumental tersebut dapat dimaknai sebagai hukum acara. Pada lembaran literatur dikenali bahwa hukum acara berisi sejumlah aturan main dalam hal mengakses sekaligus sebagai panduan dalam “beracara” pada sebuah badan peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi. Secara fungsional, hukum acara atau lazim disebut sebagai hukum formil diasosiasikan sebagai rumusan aturan guna menegakan hukum materil. Dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum/kepala daerah, hukum materilnya ialah konstitusi dan undang-undang lex specialis sedangkan hukum formilnya ditemukan pada Peraturah Mahkamah Konstitusi.

Ringkasnya, karena berisi sejumlah aturan untuk memastikan pelaksanaan right to justice dapat terpenuhi dalam kaidah hukum, maka hukum acara akan memuat setidaknya sejumlah kualifikasi tertentu, diantaranya ialah pihak yang dapat bertindak guna memenuhi akses pemenuhan keadilan, prosedur persidangan, mekanisme serta tatacara pembuktian dan pelbagai rangkaian formalistis lainya sehubungan dengan pelaksanaan persidangan. 

Belakangan, jagad pengamat, praktisi serta pemerhati demokrasi seakan mendapatkan fenomena baru untuk dikaji. Di tengah hangatnya sengketa hasil Pilkada tergelar, salah satu kontestan menarik gugatan di tengah gelanggang persidangan. Secara langsung dan lugas, hingga mendapatkan atensi serius dari seluruh peserta sidang. Bukan tanpa alasan, ditariknya gugatan oleh salah satu pihak dianggap akan memberikan dampak serius dalam keberlangsungan gugatan aquo. Ditaksir bahwa sikap tersebut akan menyasar keabsahan formil gugatan pada segmen kualifikasi adresaat norm (subjek hukum) yang berhak mengajukan gugatan dan secara sistematis akan menjurus  pada putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut guagatan tersebut. Memang, upaya hukum ialah hak yang terikat dengan nilai dasar always belang to the person. Namun menggunakan hak pada lapangan hukum tidak seindah dan semudah itu. Terikatnya hak prosedural pada rangkaian prasayarat perlu diperhatikan. Tulisan ini akan mencoba membuka aspek mana yang beririsan langsung dengan pencabutan gugatan sepihak tersebut serta proyeksi putusan perihal tersebut.

Legal Standing pada Sengkta Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi

Hanya yang memiliki kepentingan hukum yang dapat “berdiri” di hadapan pengadilan dalam skema gugatan. Pada lapangan hukum perdata, prinsip tersebut diilustrasikan melalui adigium yang berbunyi point d’interet point d’action. Dalam terminology lain, berpijaknya seseorang pada unsur kepentingan dikenal pula dengan istilah standing to sue. Di Amerika, prinsip ini diartikan sebagai pihak yang dapat meminta putusan pengadilan menyangkut kepentingan tertentu dalam sebuah perselisihan. Olehnya, keterpenuhan legal standing diidentikan dengan dalil personae standi in judicion atau pihak yang memiliki hak yang didasarkan pada urgensi kepentingan untuk dapat mengajukan diri melalui upaya hukum tertentu (sebut gugatan) sebagai cara untuk mendapatkan putusan pengadilan.

Lebih detil dalam ulasan Harjono diungkapkan bahwa legal standing merupakan indikator persyaratan bagi pihak-pihak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa pada Mahkamah Konstitusi. Jika dicermati, unsur legal standing sejatinya berkenaan dengan keterpenuhan syarat kualifikasi subjek yang sah sebagai pihak dalam sengketa. Olehnya tidak saja bermakna kepentingan hukum semata, legal standing juga diibaratkan sebagai “tiket masuk” untuk mengetuk pintu keadilan pada badan yudikatif. Tidaklah dapat seseorang atau personafikasi subjek hukum lainya (badan hukum) mendalilkan dirinya sebagai pihak yang dapat mengajukan sengketa pada Mahkamah Konstitusi melainkan memenuhi prinsip kedudukan hukum (legal standing). Pigura yang menjadi alas kedudukan hukumnya ialah kepentingan yang terlanggar atau kerugian yang dialami.

Dari ilustrasi tersebut, legal standing tentu mewakili makna keterpenuhan syarat formal gugatan yang tidak saja bermakna sempit pada kepentingan dan kualifikasi subjek, melainkan pada keabsahan gugatan yang diajukan. 

Secara singkat dapat dikonstruksikan bahwa syarat formil dalam gugatan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk memenuhi ketentuan tata tertib beracara yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Lebih padat lagi, syarat formil sesungguhnya berkenaan dengan keterpenuhan ketentuan penataan tertib beracara. Memang, karakteristik syarat formil terkesan rigid atau kaku. Bahkan terkadang rigiditas hukum acara dikonfrontasikan dengan keadilan substantif yang mendiami relung sanubari justitiabelen (pencari keadilan). Namun, kekakuan hukum formil, termasuk syarat yang mengitarinya didasari pada dimensi fundamental menyangkut hukum dan sistematikanya.

Setidaknya terdapat tiga alasan pardonis terhadap kekakuan hukum acara diantara, pertama, demi kepastian hukum guna memastikan hukum berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsi hukum acara guna menegakan hukum materil. Selain itu, kekakuan syarat formil ini untuk menumbuhkan serta menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Kedua, mengantisipasi kecenderungan kesewenang-wenangan penegakan hukum dan peradilan. Dimensi ini fokus pada upaya perlindungan terhadap para pihak dalam proses penegakan hukum melalui institusi peradilan. Ketiga, untuk menegakan keadilan formal.

Untuk ulasan ini, pendapat Friedrich Carl von Savigny dapat dijadikan pijakan bahwa objektifitas hukum yang diwujudkan melalui terstrukturnya tahapan hukum secara sistematis dapat mengikis kemungkinan dominannya determinasi perspektif subjektif. Dengan demikian, termasuk dalam hal atribut syarat formal gugatan yang dikalungkan pada prinsip legal standing, hendaknya tidak dimaknai sempit hanya pada sekedar kekakuan hukum.

Disadari bahwa acapkali nuansa kebatinan publik akan terguncang ketika ketidak-terpenuhan legal standing seakan menjegal upaya untuk menemukan hukum secara substantif. Namun, lebih bijak jika tidak mencari mana yang superior dalam kacamata hukum, apakah syarat formal hukum acara atau keadilan substantif. Keduanya saling bergandeng. Syarat formil dalam hukum acara dikonstruksi sebagai upaya untuk mengedepankan kepastian hukum guna melindungi kemungkinan subjektifitas penegakan hukum. Olehnya dibutuhkan kepatuhan secara rechmatigeheid. Tendensi subjektif itu perlu dinetralisir oleh pengakuan kekakuan kualifikasi legal standing agar terdapat patokan yang jelas bagi pihak yang dapat memperjuangkan keadilan substantif melalui palu pengadilan. 

Terkhusus mengenai pihak yang dianggap memiliki legal standing pada sengketa hasil Pemilu/Kada di Mahkamah Konstitusi maka proyeksi analisis sederhana perlu dimulai dengan mengidentifikasi obejek sengketanya. Secara terbatas, obejctumlitis sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi terletak pada Keputusan Termohon (KPU) mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang dapat memengaruhi penetapan calon terpilih yang dalam konteks ini ialah perolehan suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil mengenai penetapan perolehan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.

Dengan demikian, pihak yang dianggap berisian kepentingan dengan objek sengketa tentu ialah peserta pemilihan mengingat peserta pemilihanya yang memiliki kepentingan terhadap penetapan perolehan hasil suara dimaksud. Dengan kata lain, uraian dalil menyangkut terpenuhinya legal standing ialah pada pemohon atau peserta pemilihan. Manakala dirujuk pada pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Pemohon dirincikan antara lain; a. pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur; b. pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati; c. pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota; atau d. pemantau pemilihan dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon. 

Berdasarkan rumusan ketentuan aquo secara terbatas dan jelas pihak yang dapat dikualifikasi sebagai pemohon ialah pasangan calon yang menggandengkan calon Kepala daerah berserta Wakil Kepala Daerah. Keduanya terpolarisasi secara kolektif kolegial atau dengan kata lain, hanya dapat dikualifikasi sebagai pemohon jika calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersama-sama mengajukan diri sebagai pemohon dalam sengketa hasil. Oleh karenanya, jika dalam suatu sengketa hasil hanya diajukan oleh salah satu dari kedua pihak tersebut (Cakada/Cawakada) maka dalam pendapat penulis sejatinya kualifikasi “pemohon” tidak terpenuhi.

Ratio legis penulis setidaknya didasarkan pada dua aspek, pertama, secara jelas terbatas pemohon dijelaskan terdiri dari Cakada dan Cawakada. Terlebih frasa yang digunakan untuk menyebutkan kedua pihak tersebut ialah “dan” bukan “atau” apalagi “dan/atau”. Atas dasar itulah, sungguh tidak sesuai dengan ketentuan syarat kualifikasi pemohon jika salah satu pihak saja yang konsisten mengajukan sengketa hasil.Kedua, dimensi kepentingan hukum sebagai syarat legal standing hanya bisa diuraikan oleh Cakada dan Cawakada. Hal ini disandarkan pada objecktum litis sengketa yang diajukan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan tersebut yang beririsan dengan kepentingan Cakada dan Cawakada secara Bersama.

Olehnya, uraian terhadap kepentingan tersebut tidak tepat jika hanya didalilkan oleh satu pihak saja mengingat objek sengketanya membawa keduanya atau dengan istilah lain jika hanya salah satu dari Cakada atau Cawakada saja yang mengajukan sengketa hasil, maka dari sisi subjek dapat digolongkan kurang pihak. Ketiga, kepatuhan terhadap prinsip lex stricta atau rigiditas (kekakuan) hukum acara. Jika pada ketentuan mengenai kualifikasi pemohon menyertakan secara tidak terpisah antara Cakada dan Cawakada, maka sejatinya mengakuai keterpenuhan kualifikasi pemohon yang apabila hanya menyertakan satu pihak saja menjadi tidak seharusnya. 

Menerka Arah Putusan

Dengan tidak bermaksud untuk mendahului putusan Mahkamah Konstitusi, penulis mencoba membangun analisis perihal fenomena penarikan gugatan oleh salah satu Cawagub tersebut yang tentu didasarkan pada keterpenuhan syarat formal gugatan yakni berkenaan dengan syarat sebagai pemohon dan uraian legal standing yang telah diulik singkat pada pembahasan sebelumnya.

Namun, sebelum itu, penulis hendak menguraikan bahwa dalam rezim Perselisihan Hasil Pemilihan terdapat dua varian substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, Putusan atau Kedua;  Ketetapan. Substansi Varian Putusan MK dalam Perselisihan Hasil Pemilihan kemudian dipecah menjadi 3 (tiga) yang mengkonfirmasi serta menimbulkan dampak hukum yang berbeda pula. Pertama, Permohonan tidak dapat diterima, apabila Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat formil permohonan. Kedua, Permohonan ditolak, apabila permohonan telah memenuhi syarat formil  dan pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan Ketiga, Permohonan dikabulkan untuk sebagian atau seluruhnya, apabila permohonan telah memenuhi syarat formil dan pokok permohonan permohonan telah beralasan menurut hukum untuk sebagian atau seluruhnya.

Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi dapat menjatuhkan ketetapan apabila, Pertama, Permohonan bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Kedua, Pemohon menarik kembali Permohonan, atau Ketiga Pemohon dan/atau kuasa hukum tidak hadir dalam sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang sah. 

Berdasarkan varian putusan dan ketepatan tersebut, dalam konteks Perselisihan Hasil Pilgub Sultra, putusan Mahkamah Konstitusi yang paling mungkin ialah “Permohonan tidak dapat diterima”. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dicabutnya gugatan oleh salah satu pihak dari pasangan calon tersebut secara simultan berkenaan dengan keabsahan subjek sebagai pemohon sebagaimana telah dijelaskan pada paragfraf sebelumnya. Terlebih, dalam rumusan ketentuan mengenai putusan (pasal 69 huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota) dijelaskan bahwa sebab permohonan tidak dapat diterima adalah jika antara pemohon dan permohonan, baik salah satu maupun kedua-duanya dianggap tidak memenuhi syarat formil. Jika pemohon dianggap sah secara formil apabila menyertakan Cakada dan Cawakada, maka jika salah satu dari kedua unsur tersebut tidak lengkap maka keabsahan formil pemohon tidak terpenuhi.

Dengan demikian, pokok perkara tentu tidak didalami lagi karena unsur keterpenuhan aspek keabsahan beracara terkhusus menyangkut kualifikasi subjek (pemohon) tidak sah menurut peraturan perundang-undangan tentang tatacara beracara pada Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Namun, kita tentu percaya, Mahkamah Konstitusi akan mengkonstruksi putusan yang seadil-adilnya, selurus-luruskan sebagaimana perundangan menegaskan. Pijakan putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah pasti mencerminkan keadilan yang bulat dan kolektif. Melingkupi procedural justice dan substantive justice. Terlebih putusan aquo akan menjadi rangkaian penyusun pendewasaan demokrasi konstitusional kita kedepan. Berdasarkan prinsip Kedaulatan Rakyat yang berirama konstitisonal. (*)

*Penulis merupakan advokat di Sulawesi Tenggara