Tanaman Coffea canephora var Robusta atau Kopi Robusta petani di Kabupaten Muna. (Foto: Novrizal)

Coffea Canephora di Negeri Layang-Layang Purba

Diposting pada

Cerita: Novrizal R. Topa

TURGO.ID – Selalu ada saja yang menarik tatkala menyapa Pulau Muna. Misteri yang terpendam tentang kearifan budaya lokal masih menjadi perbincangan oleh kalangan pemerhati budayanya. Sebut saja tentang relief lukisan pada gua Liangkori yang menggambarkan kehidupan masyarakat purba, dimana beberapa dinding gua yang melukiskan masyarakat bercocok tanam dan berburu hingga menerbagkan layang-layang (oleh masyarakat suku Muna menyebutnya Kaghati Kolope).

Menyentil soal bercocok tanam, mengantar saya mengunjungi Pak Isnain, Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pekebunan dan Hotikultura Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari Pak Isnain, saya mendapat berbagai informasi tentang perkebunan di Kabupaten Muna. Kabar baiknya, Pak Isnain ini juga merupakan putra daerah Kabupaten Muna .

Menurut Isnain, di Kabupaten Muna sekiranya ada 575 ha tanaman Coffea Canephora var Robusta atau Kopi Robusta. Hanya sayangnya pembudidayaannya masih sangat tradisional sehingga hasil panen masih belum memadai. Namun kelebihan dari proses pemeliharaan tanaman secara tradisonal ini menghasilkan biji kopi organik alias tidak menggunakan pupuk kimia.

Meski kasta tertinggi di dunia kopi adalah dari jenis Arabika, namun jumlah tanaman kopi jenis Robusta di Indonesia mencapai 70 persen sedangkan Arabika 25 persen dan jenis lainnya seperti Liberika dan Exelsa 5 persen.

“Di Kabupaten Muna sendiri, mayoritas berjenis Coffea Canophera var Robusta, memiliki luas area tanam produktif berjumlah 373 ha, belum produktif 5 ha dan dan tidak produktif 197 ha,” kata penggiat olahraga Karate ini.

Isnain menjelaskan, pada umumnya, ciri kopi robusta memiliki rasa yang cenderung pahit, karakter rasa lebih ke kacang-kacangan, mengandung kafein dua kali lipat dari pada kopi jenis arabika yaitu berkisar 1,7 persen hingga 4 persen. Namun rasa kopi Robusta di kabupaten yang memiliki situs purba Liangkobori ini, memanjakan penikmatnya dengan cita rasa gula aren. Hal ini bukan karena dalam pengolahannya dicampur gula aren, akan tetapi secara alami terbentuk dengan sendirinya.

Walaupun tanaman kopi di Kabupaten Muna yang produktif baru berkisar 373 ha dan belum dilakukan perawatan secara berkala juga belum mendapat tempat di pasar-pasar tradisonal sebagai komoditi unggul, seperti Kakao, Mete, Kelapa, Jagung dan Lada namun beberapa petani masih setia memelihara tanaman yang berasal dari Kongo ini.

Menggeliatnya kedai-kedai kopi serta meningkatnya pengguna kopi, menggugah Dinas Perkebunan dan Hotikultura Sulawesi Tenggara untuk mengambil peran membudidayakan tanaman beraroma wangi ini.

“Saat ini instansi kami sedang mengupayakan kembali pengembangan tanaman kopi di Kabupaten Muna yang pernah jaya pada sekira tahun 1970an,” imbuh pak Isnain.

“Sebelum Jambu Mete, pada tahun 1970 hingga 1980 kopi menjadi salah satu ujung tombak sektor perkebunan hingga saat itu didirikannya UPT kopi di Kecamatan Tongkuno”, sambung Isnain lagi.

Selain Kabupaten Muna, instansinya juga menyasar Kabupaten Buton, Kolaka, Konawe Selatan dan Buton Utara untuk pengembangan tanaman kopi.

“Saat ini instansi kami mengupayakan penanaman seluas dua hektar pada kabupaten yang akan dijadikan demplot tanaman kopi,” ujar pak Isnain.

Menurut para peneliti di Royal Botanic Gardens, Inggris yang menemukan sebanyak 75 dari 124 spesies kopi liar di dunia terancam punah oleh karena penebangan liar di hutan dan perubahan iklim, serta masalah penyakit jamur dan hama yang semakin memburuk. Akibat perubahan iklim ini juga, mengancam kekayaan spesies lebah yang akan mendongkrak kualitas tanaman kopi.

“Jika kita kehilangan lebah, kita kehilangan penyerbuk. Jika kita kehilangan penyerbuk, kita mendapat lebih sedikit buah. Jika buah lebih sedikit, produksi kopi lebih sedikit,” terang pak Isnain, mengutip Robert Nasi, Direktur Jenderal dari lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research).

CIFOR juga menemukan bahwa penyempitan lahan kopi Arabika saat ini akan memuncak pada tahun 2050 hingga berkurang sampai 80%. Untuk jenis kopi Robusta tidak akan berdampak karena tumbuh di dataran rendah dengan iklim lembap.

Pak Isnain menceritakan, Ethiopia adalah eksportir kopi terbesar di benua Afrika, dengan nilai ekspornya menembus angka 1 miliar Dolar (sekira Rp14,1 triliun) setiap tahun. Jumlah lokasi tumbuh tanaman kopi Arabika di negara tersebut diperkirakan dapat berkurang hingga 85 persen pada tahun 2080. Lalu, para ilmuwan mengungkapkan, hingga 60 persen lahan cocok tanamannya menjadi tidak lagi subur pada akhir abad ini.

Menurut Pak Isnain yang juga anggota Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate Indonesia (PB.FORKI) ini, semakin berkurang area perkebunan kopi, juga menjadi ancaman produksi kopi lokal menurun.

“Hal ini yang mendorong kami untuk membangun demplot tanaman kopi Canephora var Robusta pada beberapa kabupaten yang potensi tanahnya cocok bagi tanaman ini dan selanjutnya untuk dikembangkan sebagai komoditi unggulan,” pungkas penyandang Sabuk Hitam ini.