Yanuardi Syukur.

Saweran dalam Budaya Kita

Diposting pada

TURGO IDSecara sederhana, saweran berarti menaburkan sejumlah benda-benda berharga kepada orang lain. Orang lain bisa anak kecil, pengantin, penyanyi, atraksi kesenian, dan seterusnya. Singkatnya: saweran adalah pemberian dari satu atau beberapa orang kepada orang lain dalam suatu event tertentu yang dihadiri oleh sekumpulan orang.

Pernah waktu hadir pernikahan di salah satu kota, saya menyaksikan atraksi kesenian lokal. Saat seniman tersebut beratraksi, orang kemudian menyawernya dengan cara melemparkan uang ke panggung atau lantai di dekat sang seniman itu. Jumlahnya beragam, mulai dari seribu perak sampai seratus ribu. Di situ saweran bermakna “hadiah” sebab mereka telah menyaksikan kesenian tersebut.

Marcel Mauss (1925) adalah satu tokoh yang mengulas tentang pemberian atau gift. Saweran bisa kita lihat sebagai pertukaran yakni cara pertukaran objek antarorang untuk membangun hubungan yang baik antarmanusia. Seorang yang beri saweran kepada seniman berarti dianggap turut menghargai, berkontribusi, dan menunjukkan simpati dan penghargaan kepada seniman tersebut. Di situ ada pertukaran.

Secara ringkas, pertukaran dalam saweran itu berpusat–meminjam Mauss–pada kewajiban untuk memberi, menerima, dan yang penting juga adalah: membalas. Artinya, kolektiva tersebut meyakini bahwa saweran memiliki aktivitas saling menerima; seniman menampilkan skill-nya, penonton menerima skill tersebut, dan kemudian mereka membalasnya dengan barang-barang yang dianggap berharga orang kolektiva tersebut. Uang adalah salah satunya.

Dalam event “sekuler”, saweran dapat dimaknai dalam konteks di atas. Akan tetapi, bagaimana dalam praktik saweran dalam konteks event “religius”, misalnya dalam konteks ketika Hajah Nadia Hawasyi yang sedang mengaji kemudian didatangi oleh dua lelaki berkopiah ke atas panggung dan menyawer-nya dengan “guyuran” uang dan juga ada yang diselipkan ke jilbab?

Nah, makna saweran tersebut kini jadi lebih sensitif dan kontroversial, sebab agama memiliki aturan khusus misalnya saat membaca Al Qur’an. Misalnya, ada riwayat bahwa orang yang beriman sikapnya tenang ketika mendengarkan ayat Al Qur’an dibacakan.

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al A’raf ayat 204)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

مَنِ اسْتَمَعَ إلى آيَةٍ من كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى كتب له حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ ، وَمَنْ تَلاَهَا كانت له نُوراً يوم الْقِيَامَةِ.

Artinya: “Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al Qur’an, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barangsiapa membacanya adalah baginya cahaya pada hari Kiamat.” (HR Bukhari dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA).

Ayat Al Qur’an dan hadis ini secara umum menjelaskan bahwa sikap Muslim ketika mendengarkan pembacaan Al Qur’an adalah: mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tenang, dan merenungkan maknanya.

Bagaimana dengan seweran yang dilakukan dua orang saat Hajah Nadia membacakan Al Qur’an tersebut? Dalam konteks pemberian–pada perspektif Mauss–di atas, intensi sang pembaca Al Qur’an biasanya tidak pada harapan balasan dari pendengarnya, misalnya mengaji agar disawer dapat uang. Umumnya, orang mengaji–dalam event religius formal–adalah sebab keutamaan yang ada pada tindakan tersebut yang mulia dan mendapatkan kebaikan di sisi Allah.

Seorang qari’ tidak berharap balasan uang dari penonton, apalagi melalui mekanisme saweran. Kalaupun pada tradisi kolektiva tertentu hal itu ada, sangat mungkin ada “resistensi” dari sang qori’, namun karena dalam posisi subordinat maka ia tidak melakukan resistensi yang berarti, seperti kasus Hajah Nadia tadi yang sebenarnya resisten namun berada pada posisi subordinat pada event sosio-budaya tersebut.

Ketika video tersebut viral, relasi kuasa Hajah Nadia kemudian bertransformasi, dari yang sebelumnya subordinat menjadi mulai superordinat dengan keberaniannya untuk berbicara–sebagaimana yang kita lihat pada komennya di media sosial. Dalam dunia digital seperti sekarang, “viralitas” terkadang dapat mengubah orang dan menggerakkan orang untuk lebih terang mengungkapkan apa isi pikiran dan perasaannya.

Akhirnya, saweran dalam event “sekuler” seperti kesenian dapat dianggap biasa saja, dan jika ada perilaku deviant akan dimaklumi, tapi dalam event “religius” dapat bermakna berbeda. Demi ketertiban sosial, ada baiknya pada hal-hal religius ada aturan yang lebih mengikat, misalnya oleh panitia yang menyampaikan aturan-aturan religi yang harus dilakukan, agar menghindari perilaku yang “tidak religius” seperti dalam konteks video saweran terhadap qori’ah Hajah Nadia Hawasyi yang sedang viral tersebut.

Depok, 6 Januari 2023
Yanuardi Syukur (Dosen Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun, Ternate)