(Cerita oleh: Gugus Suryaman)
TURGO.ID – Menenun di Kabupaten Muna disebut Mooru. Cara yang digunakan pun masih tradisional. Namun saat ini, benang yang dijadikan bahan tenunan sudah menggunakan bahan sintetis. Dulu, menggunakan kapas yang dipilin menjadi benang lalu ditenun.
Pemerintah Kabupaten Muna telah menetapkan Desa Masalili Kecamatan Kontunaga sebagai Desa Tenun, meskipun di beberapa desa lain juga masih banyak warga yang menenun. Salah satu pemilik Rumah Tenun adalah Wa Ode Ngkululi. Wisatawan juga dapat melihat langsung proses pemilinan benang hingga menenun kain untuk sarung, selendang maupun baju adat Muna di sana. Para penenun menjadikan aktivitas ini sebagai mata pencaharian sehari-hari sejak zaman dahulu.
Di Muna, dikenal ada sembilan motif tenunan. Motif ini dibedakan berdasarkan tingkatan strata pemakainya. Misalnya untuk kaum bangsawan atau Kaomu, berbeda untuk pemangku adat atau Sara, serta masyarakat biasa atau Walaka. Begitu pula motif bagi anak-anak dan remaja.
Motif Botu digunakan secara umum oleh masyarakat biasa. Motif Biabia, khusus untuk remaja dengan paduan tiga warna-warna cerah. Sementara motif Baralu, khusus untuk para tetua adat atau Sara.
Motif untuk bangsawan ada banyak nama, tergantung penggunaan. Seperti Samasili paduan hitam putih kuning, hanya dikenakan saat acara pernikahan. Sedangkan untuk kedukaan, Samasili paduan hitam putih. Ada pula motif Leja, Manggo-manggopa, Katamba Gawu, Lante-lante dan Findangkonini.
Perbedaan motif sarung inilah yang menjadi pembeda di zaman kerajaan Muna dahulu kala. Namun kini, kain tenunan itu telah dimodifikasi untuk berbagai kebutuhan, mulai dari sarung, baju dan celana, selendang hingga penghias kerajinan dan aksesoris. Sebagai oleh-oleh berkunjung di Muna, kain tenun dapat diperoleh dengan kisaran harga Rp250 ribu sampai jutaan rupiah, tergantung ukuran dan kerumitan motif.