Oleh Jamal Aslan
Setelah dentuman reformasi menggema di seantero negeri khatulistiwa, gugahan terhadap absoulitisme oromantisme orde baru dirombak habis-habisan. Constitutional reform menjelmakan komitmen sikap kenegaraan tersebut, dari peletakan semangat konstitusionalisme, relasi kuasa antar tiap lembaga negara termasuk polarisasi membentuk pengejawantahan daulat tertinggi seakan tidak luput dari rangkaian puzzle yang ditatakembali. Daulat rakyat tidak lagi diformat oleh keberadaan lembaga negara secara ekslusif.
Pasca perubahan ketiga UUD 1945, penisbahan kedaulatan rakyat terjiwai dalam kehadiran prinsip-prinsip konstitusi. Pada karakteristik ini, konsep democratiche rechstaats menyala terlihat. Secara sistemik kemudian dinalari bahwa daulat rakyat bersenyawa dengan dengan presepsi konstitusional dan oleh karena itu dapat diteguhkan bahwa segala bentuk perwujudan bangunan demokrasi berdiri diatas fundasi konstitusionalitas.
Setelah perubahan konstitusi, proyeksi elcetoral system diseparasi dalam dua bentuk. Pertama, rezim pemilihan umum yang duduk konstitusionalnya pada pasal 22E yang melingkupi pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya disebut Pemilu). Kedua, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota serta Gubernur dan Wakil Gubernur (selanjutnya disebut Pilkada).
Jika dipahami secara sistematis, perbedaan kedudukan kedua varian model pemilihan ini memunculkan tafsir bahwa pemilu berbeda dengan pilkada sehingga kedudukan hukum menyoal hasilnyapun tidak sama. Jika merujuk pada pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, sengketa hasil pemilu disematkan sebagai kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, bagaimana dengan hasil pilkada? Apakah tetap pada Mahkamah Konstitusi? Jika demikian, bukankah pilkada dan pemilu berbeda ataukah sama? Teranyar kemudian sebersik acuan dalil terungkap melalui hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XXI/2022 dimana putusan ini dianggap mengklarifikasi polemik similaritas atau diferenitas pemilu dan pilkada. Namun, yang menjadi fokus penulis dalam putusan ini ialah bukan pada konteks itu. Pembahasan mendalam perihal perdebatan itu akan dibahas pada opini yang lain.
Putusan aquo menyangkut keberlakuan pasal 157 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang secara garis besar pertama, pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada dan kedua, dalam hal ketentuan Badan Peradilan Khusus Pilkada belum terbentuk, perihal sengketa hasil pilkada masih diberikan pada Mahkamah Konstitusi. Dapat dibayangkan, serentak se-Indonesia pilkada dilaksanakan di Tahun 2024 ini. Sebanyak 37 provinsi, 415 Kabupaten serta 93 Kota menggelar pesta demokrasi lokal dan demi alasan demokrasi yang fair dan melindungi rights to elected tentu, gugatan sengketa hasil akan berjubel, ngantri masuk ke pintu registrasi perkara di Mahkamah Konstitusi.
Guna memitigasi potensi fenomena tersebut, pasal 158 dikonstruksi dengan mengedepankan paradigma limitatif. Ambang batas sebagai syarat formil pengajuan sengketa hasil ditentukan. Dengan mempertimbangkan besaran jumlah penduduk, treashlod presentasi selisih hasil perolehan suara ditentukan sebesar 2%,1,5%,1% dan 0,5%. Pasal ini terkesan formalisitik terlebih ketika karakterisitik ketentuan aquo tegas mengangkat dimensi procedural law yang stick, rigid dan kaku atau lex stricta.
Namun, belakangan syarat tersebut “mengendor”. Kualifikasi kuantutatif pasal aquo tidak lagi seolah-olah menjadi sandungan bagi pihak yang berkepntingan untuk memenuhi prinsip legal to soe dalam sengketa hasil pilkada. Tulisan akan mengulas korespondensi keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam pusaran sengketa pilkada. Disisi lain, akan turut pula diungkap senyawa substantif perihal pergeseran paradigma Mahkamah Konstitusi perihal pemberlakuan ambang batas tersebut.
Relasi Antara Mahkamah Konstitusi dan Sengketa Hasil Pilkada.
Ibarat hikayat yang panjang, pergumulan dinamika yang mengitari Mahkamah Konstitusi dan sengketa hasil pilkada terekam dalam perspektif historis. Semula sengketa hasil pilkada diserahkan pada badan peradilan lain. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 106 ayat (1) mengatur bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu tiga hari setelah hasil pemilihan ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Mahkamah Agung mencakup penyelesaian sengketa hasil pemilukada (nomenklatur saat itu).
Selain itu, secara konstitusional, Mahkamah Agung memiliki kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang, termasuk mengadili pada tingkat kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian, kewenangan sengketa pilkada yang diberikan kepada Mahkamah Agung dianggap merupakan bagian dari tugas konstitusionalnya.
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengatur tata cara pengajuan keberatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2005. Aturan ini mengacu pada pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 106. Selanjutnya, peraturan pelaksanaan lainnya mencakup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005. Semua peraturan ini menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pengalihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi dimulai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/PUU-II/2004 pada 22 Maret 2005. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa pilkada langsung dapat dianggap sebagai bagian dari pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945, yang berarti perselisihan hasilnya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Namun, pembentuk undang-undang juga memiliki opsi untuk menetapkan bahwa pilkada langsung bukan bagian dari pemilu dalam arti formal, sehingga perselisihan hasilnya tetap menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 MK membatalkan dua Pasal 236 Huruf c UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjadi dasar kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.
Babak baru penyelesaian sengketa hasil pilkada dipertegas pada 29 Oktober 2008. Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili. Tindakan ini merupakan implementasi Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang mengatur bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu maksimal 18 bulan sejak undang-undang diundangkan.
Dengan demikian, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, sengketa pilkada resmi menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, di dalam ketentuan Pasal 157 menentukan bahwa yang berwenang adalah badan peradilan khusus. Namun sebelum terbentuk badan peradilan khusus tersebut, Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menentukan bahwa penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan kembali oleh Mahkamah Konstitusi.
Romansa perihal badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada kandas pasca Putusan MK Nomor 85/PUU-XXI/2022. Terkubur sebelum dilahirkan, demikianlah padanan yang tepat untuk menggambarkan wacana badan peradilan khusus ini. Putusan aquo mengkualifikasi pasal 157 ayat (1) yang notabene sebagai alas hukum pembentukan lembaga aquo sebagai pasal yang inkonstitusional. Angan-angan itu pupus, sekaligus meneguhkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil pilkada, meskipun pilihan tersebut masih menyimpan sekam perdebatan perihal interpretasi perluasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut UUD NRI Tahun 1945.
Antara Paradigma TSM dan Judiciary Treashold Sengketa Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Paradigma Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam menilai pelanggaran pemilu dan pilkada telah mengalami evolusi signifikan. Awalnya, MK hanya menangani perselisihan hasil pemilu berdasarkan selisih perolehan suara. Namun, paradigma ini berkembang menjadi pendekatan yang lebih menyeluruh, mengutamakan kualitas proses pemilihan dan kesesuaian hasil dengan prinsip konstitusional, yaitu jujur dan adil.
Semula Mahkamah Konstitusi diidealkan hanya menyoal barisan angka-angka atau aspek yang tendensi kuantitaifnya lebih kuat. Bahkan Makhkamah Konstitusi diproyeksikan sebagai “Mahkamah Kalkulator”. Namun, konstitusionalitas demokrasi tidak tersibak hanya melalui rentetan angka perolehan hasil. Demokrasi yang sehat perlu disemai melalui proses yang tidak tercemar kecurangan dan konstisten diatas asas dan prinsip demokrasi.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi harus menerobos keterbatasan “limitasi hasil” tersebut dengan turut memeriksa indikasi atau dugaan pelanggaran yang menyebabkan disparitas hasil perolehan suara. Putusan pertama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang secara tegas mengaitkan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dengan kewenangannya adalah dalam konteks sengketa pilkada.
Pada permulaan, Mahkamah Konstitusi mulai memproses pelanggaran TSM sebagai bagian dari sengketa hasil pemilu/pilkada ketika dinilai memengaruhi hasil pemilu secara signifikan. Salah satu kasus yang menonjol terkait pelanggaran TSM adalah dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010 (Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VIII/2010). Dalam kasus tersebut, MK membatalkan hasil pilkada karena terbukti adanya pelanggaran TSM yang mempengaruhi hasil pemilu. Dimensi ini menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi melepaskan keterbatasan penilaian pelanggaran pemilu dan pilkada tidak terbatas pada hasil semata.
Logika sederhananya ialah sungguh tidak logis memeriksa disparitas hasil jika membuka anomali dalam tahapan. Bahkan secara komparatif, peran badan peradilan untuk membongkar dugaan pelanggaran yang berimplikasi pada hasil pemilu juga diterapkan pada sistem demokratis dinegara lainya. Seperti Mahkamah Konstitusi Austria yang menerapkan pendekatan determinative. Fokusnya pada dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu. Pendekatan determinative tersebut mendeskripsikan bahwa hanya pelanggaran yang signifikan dan memengaruhi hasil akhir yang dapat menjadi dasar pembatalan pemilu.
Porsi perspektif ini dianggap mengedepankan substantive justice ketimbang procedural justice. Keadilan substantif bercokol pada inti keadilan yang mengutamakan hasil akhir yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai hukum dan moral. Pada lembaran lain, keadilan prosedural pada kepatuhan terhadap prosedur hukum (preocedural law) yang ditetapkan tanpa memperhatikan apakah hasil akhirnya adil secara moral atau sosial.
Dalam sengketa pilkada, keadilan substantif sering ditekankan oleh para pemohon ketika terjadi pelanggaran yang memengaruhi hasil pemilu, seperti pelanggaran administratif atau keberpihakan penyelenggara pemilu. Pendekatan ini menuntut Mahkamah Konstitusi untuk tidak hanya menjadi penghitung suara, tetapi juga mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang dapat mengubah substansi hasil pilkada. Namun, konsiderasi doctrinal mengingatkan bahwa keseimbangan antara keadilan substantif dan prosedural tetap penting. Keadilan prosedural memastikan proses yang transparan dan berintegritas, sedangkan keadilan substantif menjaga agar hasil akhir benar-benar merefleksikan keadilan bagi semua pihak. Hal ini sesuai dengan konsep electoral justice yang menekankan pentingnya sistem peradilan pemilu yang efektif, tidak memihak, dan kredibel.
Balancing antara kedua dimensi tersebut tergambarkan melalui rumusan pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dan perspektif penempatanya sebagai syarat pengajuan gugatan oleh Mahkamah Konstitusi pada fase pilkada 2024. Ambang batas sebagaimana dimaksud pada pasal aquo teta diterakan, namun dengan terlebih dulu memproyeksi dugaan pelanggaran yang TSM tersebut.
Secara garis besar, kita mengenal rumpun pelanggaran dalam pilkada meliputi pelanggaran administrasi, pidana, etika dan hukum lainnya. Namun dalam hal mengkualifikasi jenis pelanggaran yang TSM tidak sembarang menggunakan pendekatan. Muhammad Reza Winata meringkaskan bahwa doktrin pelanggaran Pemilu TSM mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia justru terjadi pada Pemilihan Kepada Daerah yakni Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur Tahun 2008. Dalam Putusan ini MK menyatakan bahwa Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan masif. Landmark decision inilah yang menjadi yurisprudensi dan rujukan bagi perkara-perkara Pemilu selanjutnya.
Dasar pertimbangan MK mengakui telah terjadinya pelanggaran TSM yaitu pemikiran bahwa tidak boleh dibiarkannya keadilan prosedural (procedural justice) mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena telah nyata merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. M. Mahrus Ali dkk mengintisarikan bahwa suatu pelanggaran dikualifikasi terselenggara dengan TSM jika Pertama, Pelanggaran itu bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang (by design); Kedua, Pelanggaran itu bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pilkada secara kolektif bukan aksi individual; Ketiga,Pelanggaran itu bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis.
Jika dihubungkan dengan penerapan paradigma dalam memproses sengketa hasil dengan terlebih dahulu mengintisarikan karakter pelanggaran sebelum menggunakan ambang batas sebagaimana dimaksud pada pasal 158 UU Pilkada maka, pada sengketa hasil pilkada 2024 ini, Mahkamah Konstitusi akan menyaring dalil dugaan pelanggaran yang TSM terlebih dulu sebelum menerapan treashold. Aspek inilah yang perlu diperhatikan para pihak, lex specialis penggungat yang merasa bahwa selisih perolehan hasil suara dalam pilkada disebabkan karena adanya pelanggaran.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, meskipun ambang batas tetap diterapkan, namun substansi dari demokrasi yaitu menciptakan proses peralihan kekuasaan secara sehat tetap menjadi acuan priemer dalam menentukan dapat dan tidaknya guatan PHPkada diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Angin segar ini perlu dinikmati dengan proporsional sehigga agenda mewujudkan electoral system yang teguh pada prinsip demokratis bisa benar-benar mewujudkan keadilan substantif dengan tidak mengenyampingkan keadilan procedural dalam dimensi pilkada.(*)